Selasa, 19 Oktober 2021

Ringkasan Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan

 "Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan Dan Anak Perempuan"

Alhaya Darmasari

Sumber: Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan, CATAHU KOMNAS PEREMPUAN 2020

Dalam pengumpulan dan catatan tahunan (CATAHU) komnas perempuan berdasarkan pemetaan laporan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima tercatat menonjol sama seperti tahun sebelumnya yaitu KDRT/RP di ranah personal yang mencapai angka 75% atau setara 11.105 kasus. Posisi kedua Ktp di ranah komunitas atau publik dengan presentase 24% atau setara 3.602 kasus dan terakhir adalah Ktp di ranah negara dengan presentasenya 0,1% atau setara 12 kasus. 

Untuk tanah rumah tangga atau relasi personal, selalu sama seperti tahun tahun sebelumnya kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama yaitu dengan 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 2.341 kasus (21%), kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.815 kasus (16%), sanya adalah kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Dan berdasarkan Diagram bentuk KTP di ranah personal secara keseluruhan menunjukkan bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (43%), dan seksual sebanyak (25%). Olah ini sama seperti pola di tahun sebelumnya. Kekerasan secara konsisten masih menjadi terbanyak kedua yang dilaporkan dan menunjukkan rumah dan relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan.

CATAHU 2020 ini menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2019, kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan menunjukkan bahwa satu kasus proses hukumnya berjalan selama bertahun tahun, misalnya satu kasus KDRT yang dilaporkan sejak tahun 2016 hingga tahun 2020 yang masih berjalan. Kesenjangan jumlah kasus yang ditangani kepolisian namun tidak sampai ke tahap pengadilan, terpantau banyak terjadi pada kasus kekerasan dalam rumah tangga. Penafsiran beragam bagaimana UU PKDRT diterapkan, mana masih dipengaruhi pandangan bahwa persoalan KDRT adalah persoalan personal dan pentingnya menjaga kelangsungan rumah tangga. Pandangan ini mempengaruhi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus ringan dan pidana bersyarat dengan pertimbangan untuk tidak membuat keluarga terpisah satu sama lain.

Setiap tahunnya, CATAHU mencatat sejumlah kasus kriminalisasi korban KDRT dalam kasus kekerasan terhadap istri (KTI), identifikasi berbagai macam bentuk kekerasan diantaranya yang paling dominan adalah kekerasan psikis berupa perselingkuhan, pengecaman, kekerasan verbal berupa Caci maki dan kriminalisasi yakni istri menjadi korban KDRT dan mencoba keluar dari lingkaran kekerasan atau melaporkan suami ke kepolisian, laporkan balik oleh suami dengan berbagai tuduhan seperti pada jam soalnya suami melaporkan istri dengan pasal penelantaran anak dalam UU perlindungan anak karena istri bekerja dan menetapkan anak ke pengasuh sementara suami tidak bekerja. KDRT yang dialami istri ini terjadi setiap tahun dengan berbagai kompleksitas namun penanganan kepada korban masih kurang maksimal. Dalam persoalan ini menunjukan adanya ketimpangan relasi gender dalam rumah tangga di mana relasi dikendalikan oleh pihak suami. Bahkan pola kekerasan tidak hanya berhenti saat korban masih dalam status perkawinan, tetapi juga pasca perceraian. Hal ini yang terdapat dalam kasus kekerasan oleh mantan suami (KMS) yang mayoritas dalam bentuk perebutan hak asuh anak dan persoalan harta gonogini.

Jika dilihat dalam Diagram jumlah KTP tahun 2008-2019 CATAHU 2020 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat.  Arti lainnya adalah bila setiap tahun kecenderungan kekerasan terhadap perempuan konsisten mengalami peningkatan, menunjukkan tidak adanya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan, bahkan telah terjadi pembiaran. Fenomena ini dapat dikatakan kekerasan terhadap perempuan menjadi budaya yang membuat di kalangan masyarakat kita. Banyaknya kasus yang di adukan ke Komnas Perempuan, namun tidak berbasis gender atau hanya minta atau memberi informasi/klasifikasi/tidak teridentifikasi menunjukan makin besarnya harapan masyarakat terhadap Komnas Perempuan untuk dapat menyelesaikan kasus yang dihadapi nya dan semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk melupakan kasus kekerasan yang dialami di lingkungannya. Juga menggambarkan kebutuhan masyarakat untuk didengar dan direspon atas peristiwa pelanggaran dan kejahatan yang dialaminya. Sekaligus menjadi catatan bagi Komnas Perempuan dalam mensosialisasikan mandat Komnas Perempuan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ringkasan Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan

 "Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan Dan Anak Perempuan" Alhay...